Penelitian terbaru menunjukkan orang dewasa dengan gejala depresi akan meningkatkan risiko terkena penyakit Alzheimer.
Alzheimer adalah gangguan otak yang fatal ditandai hilangnya memori dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Para peneliti telah lama mengetahui bahwa depresi dan penyakit Alzheimer saling berhubungan, tetapi tidak jelas apakah depresi merupakan faktor risiko Alzheimer.
Dua penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neurology, edisi 6 Juli lalu menyimpulkan bahwa depresi memang terpisah dari Alzheimer dan gejala depresi dapat meningkatkan risiko demensia sebesar 50%.
Studi tidak menjawab pertanyaan tentang mengapa depresi bisa berkontribusi terjadinya penurunan kognitif. Satu teori, kata penulis studi Robert Wilson, seorang neuropsikolog di Rush University Medical Center di Chicago, depresi yang fundamental bisa mengubah otak.
"Mungkin ada beberapa perubahan struktural aktual yang terkait dengan depresi yang membuat orang tertekan. Pada saat mereka mencapai usia tua, sedikit lebih rentan untuk demensia," kata Wilson mengatakan kepada LiveScience.
Alzheimer disebabkan oleh plak protein yang kusut di sekitar sel saraf di otak yang bisa menyebabkan kematian sel. "Mengapa terjadi plak dalam bentuk kusut adalah misteri. Tetapi sebelumnya dalam studi anatomi otak, depresi tidak bisa dikatakan sebagai penyebab Alzeimer," kata Wilson.
Bagi Wilson, tampaknya mungkin bahwa depresi merupakan faktor risiko demensia, bukan gejala penyakit. Untuk menguji teori ini, ia dan rekan-rekannya menganalisa data pada orang dewasa yang lebih tua di South Side Chicago yang telah menjalani evaluasi untuk depresi dan Alzheimer setiap tiga tahun. Sekitar 350 peserta ini didiagnosis dengan demensia, yang paling sering disebabkan oleh Alzheimer.
"Dengan membandingkan peringkat depresi peserta dan diagnosis demensia, para peneliti menemukan 'hampir tak ada perubahan' dalam gejala depresi tujuh tahun sebelum diagnosis demensia dan tiga tahun setelah itu," kata Wilson.
Wawancara dengan anggota keluarga dan perawat menegaskan bahwa tanda-tanda depresi diamati secara tetap.
Hasil menunjukkan depresi bukanlah gejala yang tak terelakkan sebagai penyebab Alzheimer. "Ini bukan untuk mengatakan bahwa orang dengan depresi tidak pernah terkena Alzheimer," katanya. "Kami pikir mereka cenderung memiliki depresi sebelum mereka terkena penyakit itu."
Depresi dan demensia saling terkait. Studi kedua yang dipimpin Jane Saczynski, epidemiolog dari University of Massachusetts Medical School, menggunakan data dari Framingham Heart Study terkenal untuk melacak depresi dan demensia pada 949 orang berusia 17 tahun ke atas.
Pada awal penelitian, tidak ada peserta punya gejala demensia. Pada akhirnya, 136 orang terkena Alzheimer dan 28 orang lainnya menderita jenis demensia lainnya.
Dari mereka yang mengalami gejala depresi pada awal penelitian, 21,6% kemudian berkembang menjadi demensia, dibandingkan dengan 16,6% dari individu yang tidak depresi.
Setelah mengendalikan faktor seperti kebiasaan merokok dan genetika, para peneliti menemukan fakta bahwa depresi meningkatkan risiko mengidap demensia sebesar 50%.
Bagaimana gangguan mood seperti depresi dapat berkontribusi terhadap penyakit Alzheimer tidak diketahui. Namun efek tersebut mungkin terjadi kumulatif.
Satu teori menyebutkan depresi melemahkan pertahanan tubuh terhadap demensia dengan mempengaruhi suplai darah otak. "Penyakit jantung (faktor risiko lain untuk Alzheimer) dan depresi klinis sering berhubungan," kata Saczynski.
Perubahan ini mungkin membuat pembuluh darah otak lebih rentan terhadap kerusakan Alzheimer.
Kemungkinan lain adalah bahwa stres kronis penyebab depresi merubah struktur otak. Studi pada hewan menemukan bahwa otak tikus dalam kondisi stres menunjukkan perubahan di daerah yang terkait dengan memori dan kemampuan belajar.
Sumber: http://lawan.us
Terimakasih informasinya, yuk kunjungi juga
BalasHapuswebsite kami . . . . .